Media sosial awalnya dianggap sebagai alat demokrasi yang memperluas kebebasan berekspresi. Namun kini, platform digital justru menjadi sarang hoaks politik yang mengancam kepercayaan publik pada sistem demokrasi.
Hoaks politik menyebar lebih cepat daripada fakta. Algoritma media sosial mendorong konten sensasional agar lebih banyak dilihat, tanpa peduli apakah itu benar atau salah. Hasilnya, opini publik bisa dengan mudah dimanipulasi.
Pemilu di berbagai negara menunjukkan betapa besarnya pengaruh hoaks. Dari kampanye hitam, manipulasi berita, hingga penggunaan troll farm dan bot, semua digunakan untuk memengaruhi hasil pemilu.
Masalah makin kompleks ketika masyarakat cenderung percaya pada informasi yang sesuai dengan bias politik mereka. Pola ini menciptakan polarisasi, memecah belah masyarakat, dan melemahkan kohesi sosial.
Pemerintah dan platform digital berusaha merespons. Beberapa negara membuat undang-undang anti-hoaks, sementara platform seperti Meta dan Twitter menambahkan fitur verifikasi fakta. Namun, langkah ini sering dianggap tidak cukup.
Selain itu, regulasi bisa menimbulkan dilema. Jika terlalu ketat, bisa mengancam kebebasan berekspresi. Jika terlalu longgar, hoaks politik akan terus merajalela.
Ancaman hoaks politik menunjukkan bahwa demokrasi digital membutuhkan fondasi baru. Edukasi literasi media bagi masyarakat menjadi solusi paling mendasar.
Tanpa kesadaran kritis, media sosial akan tetap menjadi senjata paling berbahaya dalam politik modern.